Right For The Victims (Part 2)

Lalu akan ada komentar "tuh kan yang udah nutup aurat aja masih dilecehkan ya apalagi yang gak nutup". Apapun itu kita gak bisa membenarkan yang namanya pelecehan. Emangnya yang gak nutup aurat berarti pantas untuk dilecehkan? Kan gak lah. Dan kalo kita berpikiran yang nutup aurat masih dilecehkan apalagi yang gak nutup aurat, itu sama aja kayak kita membiarkan orang untuk gak usah nahan nafsu mereka dan bisa melampiaskan ke orang lain yang gak mau. Menurut saya sekarang tuh pelecehan lebih didasarkan kepada pelakunya itu sendiri yang berpikiran kotor dan gak bisa nahan atau mengelola nafsu dan emosinya, gak gitu ngaruh masalah apa yang dipakai oleh si korban.

Photo by Bay Ismoyo
(sumber www.gettyimages.com)


Pelecehan apa pun itu gak bisa dibenarkan, lalu akan ada komentar 'gak ada asap kalau gak ada api' iya selama ini masyarakat cenderung menganggap perempuan atau korban sebagai 'api'-nya. Lalu ada anggapan pelecehan terjadi karena karma bagi si korban yang telah berbuat buruk di masa lalunya dan memang udah takdir Tuhan. Aduuh selama kita masih menyalahkan si korban dan itu tanpa disadari oleh masyarakat juga, sama aja kayak kita melakukan pembenaran terhadap pelecehan itu sendiri.

Ada juga muncul komentar yang bawa-bawa dosa dan pahala, iya ada itu dosa dan pahala bagi si korban dan peleceh tapi kita juga harus tau terlepas dari dosa dan pahala itu, si korban nih berjuang lho untuk bisa lepas dari ketakutan atau traumanya dia, kita gak bakalan bisa tau sebetulnya bagaimana rasanya, bagaimana sakitnya a yang dirasakan oleh korban pelecehan dan pemerkosaan. Untuk bisa lepas dari itu bukan butuh waktu sehari atau dua hari tapi bisa menahun, belum lagi kalau mereka merasa dunia gak berpihak pada mereka sebagai korban. Sedangkan pelaku mungkin banget menceritakan pengalamannya dia dengan mudah terus sambil cengengesan bahkan pelakupun kebanyakan lupa pakaian apa yang dikenakan korbannya pada saat mereka melancarkan aksinya.

Menyalahkan korban pelecehan atau pemerkosaan akibat apa yang ada pada dirinya saat itu adalah sama saja dengan memaklumi orang untuk bisa menyalurkan nafsunya pada siapa pun. Seriously? Membolehkan hal semcam itu?

Jadi ya menurut saya masalahnya itu bukan ada pada si korban tapi emang otak si pelakunya aja yang mesum, kontrol diri yang kurang dan adanya relasi kekuasaan yaitu menganggap siapa pun yang kuat berhak menindas yang lemah. Dalam hal ini laki-laki dianggap kuat dan perempuan adalah pihak yang lemah maka laki-laki bisa berbuat sesuka hati terhadap perempuan. Salah geng, itu pikiran yang salah.

Saya pernah melihat twit dari salah satu pengguna twitter yang membagikan hasil penelitian rekannya mengenai tindakan asusila. Dari hasil penelitiannya itu ditemukan 80% pelaku pemerkosaan tidak merasa bersalah terhadap apa yang sudah dilakukan dan pelaku yang sudah beristri mengaku mendapatkan pemenuhan hasratnya di rumah namun di luar rumah?

Masalah itu memang ada pada si pelaku, ketika hasrat muncul tiba-tiba siapa pun lawan jenis yang ada di sekitarnya bisa saja menjadi korban. Pelaku parahnya menceritakan hal itu dengan santai dan cengengesan. So yang harus dibenahi siapa?

Intinya jangan terus-terusan menyalahkan korban atas apa yang diterimanya. Mendapat tindakan pelecehan apalagi pemerkosaan itu sudah sangat sakit buat korban jangan ditambah dengan menyalahkan mereka. Lagipula pelaku kejahatan seksual kan manusia juga yang seharusnya mampu mengontol dan menahan nafsunya dong ya, harus punya kontrol diri

To be continued
The first one Part 1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rights For The Victims; Solution (Part 3-Finale)

Hoax dan Orang Tua; Sefruit Tips Meliterasi Baby Boomers & X

Touched by Jackie and Her Love to Him